JURNAL: Cerpen ini pernah tersiar di Majalah Harmoni keluaran 1- 15 JANUARI 2007. Pada ketika itu, saya menggunakan nama pena, Dissa Che Wan.
SEPUCUK SURAT DARI GERIGI BESI
Dia termangu di situ, merenung kosong mentari senja yang berlabuh. Melihat warna jingganya makin menghilang. Seperti mana, sebuah kehidupan milik dia kian pudar sinarnya. Dia tersenyum kelat. Terasakan pahit sekali. Dia mengalih padangaan hambarnya pada sampul surat yang erat di genggamannya. Dia termenung sebentar. Lama. Di dalamnya, barangkali hanya menitip khabar yang sama.
Sufi,
Tahukah kau? Langkah yang kuatur di bumi Kuala Lumpur ini telah mengubah sama sekali cerita seorang gadis kampungan sepertiku. Aku bukan gadis liar yang biasa terpapar kisahnya di kaca televisyen. Aku juga bukan gadis bebas yang mudik ke sana dan ke mari dengan sesiapa pun jua kenalannya. Kupegang erat restu dan pesan ibu, takwa dan iman jangan sekali diabaikan. Tiada yang salah di situ. Aku hanya gadis biasa! Aku tidak pernah menyakiti sesiapa. Aku bekerja keras saban hari. Pun di mana silapnya aku tidak tahu. Mengapa tiba-tiba menjelma bagaikan satu hukuman!
Monday, June 28, 2010
Wednesday, June 23, 2010
JURNAL: Ketika melakar bingkisan ini, saya benar-benar kecewa. Bagaikan tiada sedikitpun ruang untuk saya melangkah maju ke hadapan, walaupun hanya setapak. Bertanya pada diri, mestikah saya bersedih? Balas Sang Hati...janganlah bersedih, bertahanlah untuk sesaat lagi. Pasti akan ada sesuatu yang indah menantimu di hujung waktu. Bersabarlah...
DI TABIR MIMPI
Aku terjaga dari tidur
Aku rasa ingin menangis
Aku teringat bebayang suram yang baru pergi...
Lantas, kubuka jendela mimpi
Kulihat, warna pelangiku telah hilang
Kucium harum lavenderku yang kian kusam
Dan bunga-bunga sakuraku tidak berputik lagi!
Desis hati...mestikah terus menanti?
Ah! Titik permulaan yang terlalu rapuh
Untuk dijadikan persinggahan
Terlalu rapuh...untuk kuletakkan sejuta harapan
Harapan yang kulukiskan warna-warna impiana
Hilang dan terbang dibawa angin merah
Aku ingin pergi...benar-benar ingin pergi...
Aku akan kembali setelah memiliki bintang, matahari dan bulan
Bulan? Mampukah tercapai tangan?
DI TABIR MIMPI
Aku terjaga dari tidur
Aku rasa ingin menangis
Aku teringat bebayang suram yang baru pergi...
Lantas, kubuka jendela mimpi
Kulihat, warna pelangiku telah hilang
Kucium harum lavenderku yang kian kusam
Dan bunga-bunga sakuraku tidak berputik lagi!
Desis hati...mestikah terus menanti?
Ah! Titik permulaan yang terlalu rapuh
Untuk dijadikan persinggahan
Terlalu rapuh...untuk kuletakkan sejuta harapan
Harapan yang kulukiskan warna-warna impiana
Hilang dan terbang dibawa angin merah
Aku ingin pergi...benar-benar ingin pergi...
Aku akan kembali setelah memiliki bintang, matahari dan bulan
Bulan? Mampukah tercapai tangan?
Tuesday, June 22, 2010
MONOLOG RINDU BUAT AYAH
Ayah,
Aku tahu, kasih sayangku terlalu ‘cacat’. ‘Kekurangannya’ begitu jelas di pandanganmu. Hinggakan, kau tidak sudi ‘melihatnya’, walaupun sebentar cuma. Aku juga tahu, ia tidak cukup ‘besar’ untuk ‘menakluk’, walaupun satu daerah kecil di hatimu yang tepu dengan cita-cita dan harapan.
“Saya akan cuba lagi.”
“Sampai bila? Sampai Ayah sudah bosan menasihati kau?! Ayah tengok, kau tak pernah cuba dengan bersungguh-sungguh pun!” Kemarahanmu deras berhambatan di pendengaranku. Sederas air yang mengalir menuju muara tidak berbekas. Lalu, hilang di laut luas.
Aneh! Suara garaumu bagaikan senyap dengan tiba-tiba. Berdetik di hati...barangkali, kau benar-benar sudah muak, jelak memarahi dan menegur akan sikap endah tak endahku. Ah!
Subscribe to:
Posts (Atom)